Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dicoding, untuk mencapai target Indonesia Emas 2045, negara membutuhkan sekitar 23 juta individu dengan keahlian informatika yang unggul.
Jika Indonesia ingin sejajar dengan negara maju, kontribusi sektor teknologi informasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2045 harus meningkat menjadi 10 persen, dibandingkan dengan 4 persen pada tahun 2024.
“Guna merealisasikannya, kita perlu memberikan akses pendidikan yang lebih luas dan masif, memastikan kapasitas pendidikan informatika memadai dan scalable, serta menyelenggarakan program pelatihan IT berkualitas,” ujar Chief Executive Officer Dicoding, Narenda Wicaksono dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (20/2/2025).
Menariknya, hampir setengah dari para talenta digital menyadari bahwa keberhasilan mereka tidak hanya bersandar pada pendidikan formal semata, tetapi juga bergantung pada pelatihan non-formal dan pengalaman praktis.
Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, sektor industri, institusi pendidikan tinggi, sekolah, serta lembaga pengembangan keahlian seperti Dicoding menjadi faktor penentu dalam melahirkan 23 juta tenaga ahli di bidang informatika.
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif, Irene Umar menekankan bahwa seluruh pihak memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
“Untuk maju, kita harus relevan di mata dunia, sehingga mereka melihat Indonesia bukan sebagai pasar, tetapi juga sebagai produsen. Transformasi digital akan terus berkembang, suka atau tidak, karena itu, kita memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi berikutnya,” kata Irene.
“Diperlukan kolaborasi dalam membina talenta Indonesia. Mari kita berkolaborasi, dan saya harap setelah acara ini akan lahir kerja sama konkret yang bisa kita jalankan bersama. Komitmen saya hari ini ingin mengajak kita semua, bersama-sama membangun talenta Indonesia dan melangkah menuju Indonesia Emas,” tambahnya.
Dalam riset yang sama, Dicoding juga mengajukan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah. Salah satu langkah yang dinilai perlu diambil adalah memperluas cakupan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekosistem talenta informatika, seperti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Selain itu, institusi pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun universitas, diharapkan dapat mengakui secara akademis keterlibatan peserta didik dalam program pelatihan yang memiliki kredibilitas tinggi dan dijalankan oleh industri.
Kerja sama yang erat antara institusi pendidikan dan industri juga perlu digalakkan agar hasil pembelajaran semakin relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Sementara itu, sektor industri sebagai pihak yang menyerap tenaga kerja didorong untuk berinvestasi dalam program pelatihan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar dan mengakui sertifikasi non-formal.
Dukungan industri juga dapat berupa percepatan pengembangan talenta digital melalui pembiayaan program pelatihan dan ekosistem pembelajaran inklusif, sehingga lebih banyak pihak yang dapat memperoleh manfaat dari inisiatif ini.
Dengan mengadopsi strategi tersebut, Indonesia dapat menjamin ketersediaan sumber daya manusia di bidang informatika yang berkualitas dan memiliki daya saing global.
Hal ini juga diharapkan dapat mempercepat perkembangan ekonomi digital serta menegaskan posisi Indonesia sebagai pusat inovasi teknologi di kawasan Asia Pasifik.
Sementara itu, Country Marketing Manager Google Indonesia, Muriel, menegaskan dukungan perusahaan terhadap kolaborasi dalam pengembangan talenta digital yang kompeten.
“Sejauh ini, hasil kolaborasi tahunan lintas pemangku kepentingan seperti Bangkit, telah berhasil mencetak lebih dari 20.000 talenta informatika. Kami percaya bahwa dengan akses pendidikan yang inklusif dan berkualitas, talenta muda Indonesia dapat berkembang dan memberikan dampak nyata bagi ekosistem teknologi nasional,” katanya.
Salah satu contoh sukses dari pengembangan talenta digital adalah Andi Wijaya, pemuda asal Serang yang turut hadir dalam acara tersebut. Ia memulai perjalanan belajarnya dengan mengembangkan aplikasi Android melalui program Indonesia Android Kejar yang diselenggarakan oleh Google.
Program tersebut mempertemukannya dengan Dicoding melalui Learning Path Android, yang kemudian membawanya bekerja di Accenture sebagai Business Architecture Specialist dengan peran utama sebagai Android Lead.
“Belajar di Dicoding membuka banyak peluang bagi saya, tidak hanya di bidang IT, tetapi juga beasiswa, pelatihan kepemimpinan, dan magang ke luar negeri. Pengalaman tersebut membentuk hard skills, soft skills, serta karakter saya, yang menjadi bekal berharga dalam menghadapi peluang di dunia profesional,” kata Andi.
Dengan berbagai inisiatif dan kolaborasi yang semakin erat antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan, diharapkan Indonesia mampu mencetak talenta digital yang siap bersaing di tingkat global, sekaligus mengakselerasi pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi di masa depan.