Menggaruk, meskipun sering kali meningkatkan peradangan dan pembengkakan, ternyata menyimpan manfaat tersembunyi yang dapat menjelaskan mengapa tindakan tersebut begitu sulit untuk ditahan. Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science membahas fenomena ini, mengungkapkan sisi positif dari perilaku yang sering dianggap merugikan ini.
Dalam studi yang dikutip oleh Medical Daily pada Jumat (31/1), tim peneliti yang dipimpin oleh Daniel Kaplan menyelidiki bagaimana gatal mempengaruhi kulit tikus yang menderita dermatitis kontak alergi, atau eksim. Melalui eksperimen yang dilaksanakan, ditemukan bahwa menggaruk—meskipun tampaknya memperburuk gejala—sebenarnya memberikan perlindungan terhadap infeksi bakteri di kulit.
“Menggaruk sering kali menyenangkan, yang menunjukkan bahwa, agar dapat berevolusi, perilaku ini harus memberikan semacam manfaat. Penelitian kami membantu menyelesaikan paradoks ini dengan memberikan bukti bahwa menggaruk juga memberikan pertahanan terhadap infeksi bakteri pada kulit,” ujar Daniel Kaplan, penulis utama penelitian, dalam rilis pers.
Percobaan yang dilakukan menggunakan alergen untuk memicu gejala eksim pada telinga tikus. Beberapa tikus diberi kebebasan untuk menggaruk, sementara lainnya dibatasi gerakannya dengan menggunakan kalung penghalang, mirip dengan yang digunakan untuk anjing.
Hasil yang ditemukan cukup mengejutkan: tikus yang diperbolehkan menggaruk menunjukkan pembengkakan dan iritasi kulit yang lebih parah, dengan banyak sel imun neutrofil yang terlibat. Sementara itu, tikus yang tidak bisa menggaruk mengalami peradangan yang jauh lebih ringan. Temuan ini mempertegas bahwa menggaruk tidak meredakan, melainkan justru memperburuk kondisi kulit.
Menggaruk gatal memicu serangkaian reaksi kimia dalam kulit. Ketika saraf merasakan nyeri, mereka melepaskan zat bernama substansi P, yang kemudian mengaktifkan sel mast—sejenis sel imun yang mengatur proses peradangan dan rasa gatal. Pada umumnya, sel mast bertugas merespons alergen dengan menyebabkan sedikit rasa gatal dan pembengkakan. Namun, ketika proses menggaruk terjadi, substansi P mempercepat aktivasi sel mast, memperburuk peradangan dan meningkatkan rasa gatal.
Meski demikian, peneliti menemukan bahwa sel mast tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan iritasi, tetapi juga memiliki peran penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri. Hal ini mengarah pada pertanyaan menarik mengenai apakah menggaruk memiliki dampak terhadap mikrobioma kulit—kelompok bakteri yang hidup di permukaan kulit manusia.
Dalam eksperimen lanjutan, tim peneliti mengamati bahwa menggaruk membantu mengurangi jumlah bakteri Staphylococcus aureus, jenis bakteri yang sering terlibat dalam infeksi kulit. Kaplan mengungkapkan, “Temuan bahwa menggaruk meningkatkan pertahanan terhadap Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa hal itu dapat bermanfaat dalam beberapa konteks. Namun, kerusakan yang ditimbulkan oleh garukan pada kulit mungkin lebih besar daripada manfaat ini jika gatalnya kronis.”
Penemuan ini mengungkapkan bahwa menggaruk, meskipun memperburuk iritasi, dapat memiliki sisi positif tertentu dalam melawan bakteri, terutama dalam kondisi tertentu. Namun, manfaat tersebut harus dilihat dengan hati-hati, karena menggaruk dalam jangka panjang atau pada kulit yang lebih sensitif justru dapat memperburuk masalah dermatologis.
Dengan hasil yang menggugah ini, peneliti semakin tertarik untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana perilaku manusia dan hewan dalam menggaruk bisa menjadi bagian dari mekanisme pertahanan tubuh yang lebih kompleks, meskipun ada risiko kerusakan yang harus diperhatikan.