Pemerintah Indonesia tengah mengembangkan program untuk mendorong produsen mobil menghadirkan Low Cost Green Car (LCGC) yang lebih ramah lingkungan dengan mengintegrasikan teknologi hybrid. Meskipun teknologi ini menjanjikan manfaat untuk lingkungan, pertanyaan besar muncul mengenai apakah harga LCGC hybrid nantinya tetap terjangkau, mengingat potensi kenaikan harga yang bisa terjadi akibat penerapan teknologi canggih tersebut.
LCGC, yang pertama kali dikenalkan pada tahun 2013, telah terbukti sukses dalam meningkatkan volume penjualan mobil di Indonesia. Dengan harga yang terjangkau, kendaraan ini telah memenuhi kebutuhan konsumen yang ingin memiliki mobil hemat bahan bakar dengan emisi yang lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar konvensional. Bahkan, mobil LCGC dikenal mampu menempuh jarak lebih jauh dengan bahan bakar yang lebih sedikit, menjadikannya pilihan favorit bagi mereka yang mencari efisiensi dalam berkendara.
Namun, penambahan teknologi hybrid yang lebih ramah lingkungan berpotensi membuat harga LCGC melonjak. Hal ini diungkapkan oleh Nandi Julyanto, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), yang menjelaskan bahwa penerapan teknologi hybrid pada LCGC memang akan menaikkan harga mobil tersebut. “Tahun ini belum (produksi LCGC Hybrid), balik lagi kalau hybrid itu (ditambahkan ke LCGC) istilahnya sekarang kalau LCGC harganya pasti naik,” kata Nandi dalam acara “Carbon Neutrality (CN) Mobility Event” di Jakarta.
Nandi juga menambahkan bahwa meskipun volume produksi meningkat, harga cenderung bisa turun. “Sebenarnya volume semakin besar harganya semakin turun. Selalu begitu,” jelasnya. Toyota sendiri tengah mengkaji secara mendalam proposal dari Kementerian Perindustrian mengenai penggunaan teknologi hybrid pada model LCGC, dengan rencana pengembangan yang akan dimulai dari kendaraan premium, seperti Innova dan Yaris Cross, lalu secara bertahap merambah ke model-model lainnya.
Sementara itu, Cyrillus Harinowo, penulis buku Multi-pathway for Car Electrification, menjelaskan bahwa jika mesin kendaraan berbahan bakar konvensional (ICE) dikembangkan menjadi mesin hybrid, maka penggunaan bahan bakarnya dapat turun secara signifikan. “Jika mesin ICE dikembangkan menjadi mesin hybrid, hanya memerlukan bahan bakar 0,4 liter per kilometer. Sedangkan mobil LCGC saat ini rata-rata perlu 1 liter untuk menempuh jarak 20 kilometer,” ujarnya. Penurunan konsumsi bahan bakar ini tentunya akan berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi karbon.
Namun, Cyrillus juga menekankan bahwa insentif pajak sangat penting agar LCGC hybrid tetap terjangkau oleh konsumen. “Kalau teknologinya mungkin sedikit lebih mahal, tetapi kalau dikenakan insentif perpajakan yang bagus, pada akhirnya LCGC hybrid bisa menjadi murah,” jelasnya. Insentif pajak yang tepat dapat membantu mengimbangi biaya tambahan yang muncul akibat penggunaan teknologi hybrid, sehingga harga jual LCGC hybrid tetap bersaing di pasar.
Program LCGC sendiri sejak awal dirancang untuk memberi kesempatan kepada konsumen yang memiliki anggaran terbatas untuk memiliki mobil dengan biaya operasional rendah dan ramah lingkungan. Untuk memenuhi standar LCGC, mobil harus memiliki kapasitas mesin antara 980 hingga 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minimal 20 km/liter. Saat ini, ada lima model LCGC yang dipasarkan di Indonesia, yaitu Toyota Calya, Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Daihatsu Sigra, dan Honda Brio Satya.
Dengan adanya potensi pengembangan LCGC hybrid, harapannya kendaraan ini akan semakin memenuhi kebutuhan konsumen yang peduli dengan lingkungan tanpa mengorbankan aspek biaya, baik dari segi harga maupun pengeluaran operasionalnya.