Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum menetapkan kebijakan wajib (mandatory) dalam penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar. Namun, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah mengusulkan regulasi tersebut agar dapat segera diterapkan.
Usulan mengenai kewajiban bioetanol ini disampaikan oleh Eniya dalam acara “Carbon Neutrality (CN) Mobility Event” yang digelar pada 12-15 Februari 2025 di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta. Pemerintah tengah berupaya menghadirkan bahan bakar lebih ramah lingkungan dengan konsep “green gasoline”, di mana bioetanol akan menjadi elemen utama dalam campuran bensin, sementara biodiesel terus dikembangkan untuk bahan bakar solar.
“Etanol juga kita kembangkan, kami sangat apresiasi, Pertamina dan Toyota sudah membuat peluncuran waktu itu dengan bioetanol. Tapi ini belum kita mandatory-kan,” kata Eniya, Jumat (14/2/2025).
“Jadi mudah-mudahan peraturan menteri yang sedang dibahas, sedang dimasukkan (mandatory bioetanol). Tapi ini baru usulan, belum ditetapkan oleh Pak Menteri,” tambahnya lagi.
Bioetanol yang berasal dari bahan baku alami seperti molases tebu, sorgum, jagung, dan singkong memiliki potensi besar dalam mendukung pengurangan emisi karbon sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional. Meski demikian, implementasi kebijakan pencampuran bioetanol dalam bahan bakar masih terkesan setengah jalan. Regulasi memang telah ada, namun pelaksanaannya belum berjalan optimal.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 20/2014, sejak Januari 2015 seharusnya bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah mengandung setidaknya 1% bioetanol, sementara BBM non-subsidi seharusnya dicampur dengan minimal 2% bioetanol. Secara bertahap, aturan ini menargetkan peningkatan kadar bioetanol dalam BBM bersubsidi hingga 5% pada tahun 2020 dan 10% untuk BBM non-subsidi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan bioetanol masih sangat terbatas. Saat ini, pencampuran bioetanol baru diterapkan pada produk E5 yang digunakan dalam Pertamax Green di Jakarta dan Surabaya, sehingga pemanfaatannya belum merata di seluruh Indonesia.
Dalam upaya mendorong implementasi kebijakan ini, Eniya mengungkapkan bahwa berbagai aspek seperti mekanisme pelaksanaan, skema tata kelola, serta kemungkinan pemberian insentif bagi produsen bioetanol tengah dikaji secara mendalam.
“Nanti akan dibuat bagaimana skemanya, tata kelolanya, apakah ada insentifnya. Bagaimana masalah cukai,” ungkapnya lagi.
Dengan adanya usulan mandatory bioetanol ini, diharapkan Indonesia dapat semakin maju dalam transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan bakar yang ramah lingkungan.