Pemerintah Thailand mengambil langkah yang menarik dengan mempertimbangkan kembali larangan distribusi minuman beralkohol dalam waktu tertentu. Instruksi untuk meninjau kembali regulasi ini muncul setelah melihat peluang pertumbuhan sektor ekonomi dan industri wisata yang dapat terdampak jika pembatasan tersebut dilonggarkan.
Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menginstruksikan pihak berwenang untuk mengevaluasi kemungkinan pencabutan aturan yang melarang penjualan alkohol antara pukul 14.00 hingga 17.00 serta pada hari besar keagamaan Buddha.
Mengutip laporan dari Khosodenglish, Jumat (14/2/2025), diskusi mengenai kebijakan ini menitikberatkan pada dampak sosial dari pengendalian minuman beralkohol, sekaligus meninjau potensi keuntungan bagi perekonomian negara jika pembatasan ini dikurangi.
Shinawatra mengungkapkan bahwa berbagai sektor usaha menyuarakan keberatan terhadap kebijakan pembatasan tersebut, karena dianggap menjadi faktor penghambat pemulihan finansial. Selain itu, regulasi ini dinilai kurang sejalan dengan strategi pemerintah dalam meningkatkan jumlah wisatawan.
Selain batasan waktu penjualan, terdapat pula kekhawatiran terkait larangan transaksi alkohol secara daring, regulasi zonasi, serta kebijakan yang diterapkan selama pandemi COVID-19. Oleh karena itu, Perdana Menteri mengarahkan otoritas terkait untuk menelaah ulang peraturan-peraturan tersebut.
Perdana Menteri menekankan bahwa pemerintah berupaya menciptakan keseimbangan antara peningkatan jumlah wisatawan dengan tanggung jawab sosial.
“Ini adalah tahun pariwisata kita, jadi kita perlu meninjau kembali peraturan ini. Meskipun sebelumnya tidak ada pembatasan penjualan pada sore hari, kita harus menyeimbangkan pertumbuhan pariwisata dengan melindungi kaum muda dari akses terhadap alkohol,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun relaksasi aturan ini berpotensi meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha dan sektor pariwisata, pemerintah tetap berkomitmen untuk melindungi generasi muda dari potensi dampak negatif konsumsi alkohol.
Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri, Anutin Charnvirakul, menjelaskan bahwa Perdana Menteri telah menginstruksikan Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pariwisata dan Olahraga untuk meneliti lebih lanjut permasalahan ini.
Dari segi regulasi, Kementerian Dalam Negeri melalui Departemen Administrasi Provinsi akan mengawasi revisi aturan, termasuk kebijakan zonasi yang telah diterapkan selama bertahun-tahun dan kini memerlukan pembaruan.
Namun, perubahan terhadap regulasi zonasi juga akan berdampak pada Undang-Undang Pengawasan Minuman Keras, yang membutuhkan persetujuan dari Kabinet agar selaras. Setiap amandemen juga harus memperhitungkan penerapan sanksi yang lebih ketat.
Pada 11 Februari, delapan asosiasi bisnis dari sektor kuliner, pariwisata, perhotelan, restoran, dan jasa, yang diketuai oleh Presiden Asosiasi Bisnis Minuman Beralkohol Thailand, Kawee, serta Presiden Asosiasi Bisnis Bir Kerajinan, Nattachai Ungsriwong, mengajukan surat resmi kepada Perdana Menteri.
Mereka menekankan bahwa larangan penjualan alkohol dalam kurun waktu 14.00 hingga 17.00 berdampak besar terhadap peluang bisnis serta menurunkan citra industri pariwisata Thailand.
“Mengingat pertimbangan sosial dan ekonomi, kami meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah alternatif guna mencegah konsumsi alkohol yang tidak bertanggung jawab. Ini termasuk penegakan hukum yang lebih ketat, seperti melarang penjualan alkohol kepada orang di bawah usia 20 tahun atau yang dalam keadaan mabuk, serta memperberat hukuman bagi pengemudi yang mabuk,” jelas Kawee.
“Kami juga mengusulkan kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat untuk mempromosikan konsumsi alkohol yang bertanggung jawab,” lanjut Kawee.
Mantan Presiden Asosiasi Bisnis Minuman Beralkohol Thailand, Thanakorn Kuptajit, menambahkan bahwa revisi kebijakan ini selaras dengan inisiatif nasional yang mengangkat pariwisata sebagai agenda utama. Sektor perhotelan dan hiburan yang berkaitan erat dengan aktivitas wisata diyakini akan merasakan dampak positif dari relaksasi aturan ini.
Jika pembatasan zonasi, jam operasional, dan transaksi alkohol secara daring diperlonggar, diproyeksikan dapat mendatangkan lebih dari 50 miliar baht (Rp 24 triliun) dalam aktivitas ekonomi langsung yang melibatkan wisatawan mancanegara serta konsumen domestik.
Selama musim puncak festival, angka tersebut berpotensi meningkat hingga 100 miliar baht (Rp 48 triliun) setiap tahunnya.
“Bukan hanya sektor kuliner dan minuman yang akan diuntungkan, tetapi juga industri perhotelan, tempat hiburan, restoran mewah, tempat makan kasual, transportasi, hingga musisi. Relaksasi kebijakan ini dapat menghidupkan kembali aktivitas ekonomi, terutama menjelang festival Songkran,” tambahnya.
Presiden Asosiasi Bisnis Kehidupan Malam Pattaya, Lisa Hamilton, menyoroti bahwa pembatasan penjualan alkohol pada jam-jam tertentu serta pada hari besar keagamaan menimbulkan kebingungan di kalangan wisatawan dan berdampak pada bisnis.
“Pada hari raya Buddha, pemilik toko harus saling mengingatkan tentang larangan penjualan alkohol, yang sangat berdampak pada pendapatan. Jika larangan ini dicabut, toko akan dapat beroperasi lebih lancar. Banyak wisatawan asing merasa bingung dengan larangan alkohol pada hari besar keagamaan, karena mereka datang untuk menikmati kehidupan malam dan tempat wisata,” jelasnya.