Toyota terus memperluas jajaran kendaraan ramah lingkungannya, termasuk teknologi hidrogen yang kini semakin mendapat perhatian. Namun, seberapa lama lagi mobil berbahan bakar hidrogen dapat beroperasi secara luas di Indonesia?
Sebagai langkah konkret, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) telah meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen (SPBH) atau Hydrogen Refueling Station (HRS) di fasilitas produksinya di Karawang, Jawa Barat. Fasilitas ini menjadi salah satu yang memiliki kapasitas tekanan tertinggi, mencapai 700 bar.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengapresiasi inisiatif Toyota dalam menghadirkan infrastruktur hidrogen ini. Ia juga membandingkan perkembangan hidrogen di Jepang yang masih terbatas pada jumlah SPBH.
“Kemarin sudah ada peresmian Hydrogen Refueling Station kedua di Indonesia, tekanannya tertinggi saat ini di Indonesia, selamat kepada Toyota kemarin sudah launch di Karawang. Sekarang bapak ibu tidak perlu takut, impor kendaraan Hydrogen dari luar. Di Jakarta ada, di Karawang ada yang sudah bekerja sama Toyota dengan Pertamina, nanti mudah-mudahan makin banyak,” ujar Eniya dalam acara “Carbon Neutrality (CN) Mobility Event” di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta.
Pendirian HRS ini menjadi bagian dari strategi Toyota untuk menguji kelayakan hidrogen sebagai sumber energi transportasi di Tanah Air, mencakup aspek teknis, operasional, hingga regulasi yang diperlukan.
Presiden Direktur PT TMMIN, Nandi Julyanto, menyatakan bahwa hidrogen merupakan salah satu alternatif energi untuk mencapai target nol emisi karbon. Toyota sendiri menawarkan berbagai pilihan teknologi ramah lingkungan bagi masyarakat.
“Kami sampaikan di sini bahwa no one left behind, prefer BEV silahkan, hybrid silahkan, bahwa tidak ada single solution,” kata Nandi.
“Banyak solution tergantung dari masing-masing daerah, negara. Paling akhir yang memutuskan itu konsumen,” tambahnya.
Dalam dunia energi, hidrogen diklasifikasikan berdasarkan proses produksinya, meskipun secara alami hidrogen tidak memiliki warna. Tiga kategori utama yang dikenal adalah hidrogen abu-abu, biru, dan hijau.
Hidrogen abu-abu dihasilkan dari bahan bakar fosil seperti gas alam atau batu bara, sehingga masih menyisakan jejak emisi karbon. Sementara hidrogen biru berasal dari biomassa, dan yang paling ramah lingkungan adalah hidrogen hijau, yang dihasilkan dari reaksi elektrolisis air menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan hidrogen hijau, mengingat sumber daya alamnya yang melimpah, termasuk energi surya, air, dan biomassa.
Toyota juga menghadirkan Mirai Generasi-2 ke Indonesia, sebuah kendaraan hidrogen yang mampu mengisi bahan bakar dalam waktu hanya 3 menit dengan tekanan 700 Pascal HRS. Mobil ini memiliki tenaga sebesar 182 PS dan mampu menempuh jarak hingga 850 km dalam satu kali pengisian penuh.
Meski demikian, adopsi kendaraan hidrogen masih memiliki tantangan tersendiri. Nandi Julyanto menyoroti bahwa Jepang sendiri masih membatasi penggunaan kendaraan hidrogen di kota-kota besar meskipun pengembangannya sudah dimulai sejak 2002.
“Kita tidak bisa pastikan (kapan mobil hidrogen bisa terjangkau), pengalaman Jepang saja dari 2002 sampai 2025 masih terbatas di kota-kota besar. Tapi sudah lumayan,” ungkapnya.
“Tergantung sejauh mana, kalau kita lihat solar panel itu lama. Tapi sekarang langsung cepat banget. Sampai titik itu kapan kita perlu lihat,” tambahnya.
Cyrillus Harinowo, penulis buku Multi-pathway for Car Electrification, optimistis bahwa hidrogen akan menjadi energi masa depan di Indonesia.
“Hidrogen ini akan besar, selama ini kalau hidrogen diproduksi gas bumi itu relatif harganya akan lebih mahal,” ujar Cyrillus.
“Waktu hidrogen diproduksi dari air, sumber tenaganya dari solar energi yang makin lama makin murah. Di situlah, hidrogen akan menjadi kompetitif,” lanjutnya.
“Menurut hitungan saya 10 tahun ke depan, saya kira kita sudah ada di sana,” ungkapnya lagi.
“Jadi kalau titik itu terjadi. Mobil hidrogen akan berkompetisi dengan mobil listrik.”
“Di situ yang menariknya, kalau mobil listrik ngecas perlu setengah jam satu jam. Kalau mobil hidrogen dengan 3 menit jos Jakarta-Surabaya,” tutupnya.